Reformasi Internal, Kunci Utama Pemulihan Polri

Jakarta – Demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025 meninggalkan luka sosial dan krisis kepercayaan yang dalam terhadap lembaga kepolisian. Publik memberikan kritik keras terhadap cara aparat kepolisian bertindak di lapangan.

Wacana reformasi kepolisian kembali muncul ke permukaan dengan desakan agar pemerintah melakukan pembenahan menyeluruh. Di tengah tekanan tersebut, Presiden Prabowo Subianto mendorong langkah cepat dari Kapolri untuk merespons tuntutan masyarakat secara konkret.

Merespons instruksi Presiden Prabowo, Kapolri Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang bertugas mengevaluasi seluruh aspek kinerja lembaga. Tim Transformasi dari internal Polri dibentuk berdasarkan Surat Perintah (Sprin) Kapolri Nomor Sprin/2749/IX/TUK.2.1/2025 pada 17 September 2025. Anggotanya terdiri dari 52 perwira tinggi dan menengah, dipimpin oleh Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Negara Republik Indonesia Polri Komisaris Jenderal Chryshnanda Dwilaksana.

Tugas utama tim ini adalah mengevaluasi semua program yang telah dilakukan Polri, dari aspek struktural, instrumental, hingga kultural dalam tubuh Polri. Mereka juga diminta merancang langkah-langkah perbaikan yang mencakup pendidikan personel, transparansi anggaran, dan mekanisme akuntabilitas publik.

Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 122/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Presiden Prabowo Subianto melantik keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Istana Negara, pada 7 November 2025.

Ahli hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota. Anggota komisi lainnya, yakni Ahmad Dofiri, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Supratman Andi Agtas, Otto Hasibuan, Listyo Sigit Prabowo, Tito Karnavian, Idham Azis, dan Badrodin Haiti.

Pembentukan Tim Transformasi Reformasi Internal Polri ataupun Komisi Percepatan Reformasi Polri tidak hanya memiliki makna organisatoris, tetapi juga simbolik. Adanya agenda reformasi internal dalam tubuh lembaga menjadi pernyataan bahwa kepolisian siap menata ulang fondasi kepercayaan publik melalui pendekatan yang lebih terbuka.

Dalam pandangan publik, simbol reformasi ini adalah janji bahwa Polri akan bergerak menuju institusi yang lebih profesional, humanis, dan terbebas dari praktik kekerasan, terutama kepada masyarakat sipil.

Sebagai langkah awal menindaklanjuti reformasi, tim internal Polri (Tim Transformasi Reformasi Polri) telah menyusun tujuh kegiatan langkah percepatan (quick wins) yang dilaksanakan sejak pertengahan September 2025.

Ketujuh langkah percepatan tersebut berkaitan dengan penegakan kedisplinan anggota Polri, optimalisasi pengawasan kepada anggota Polri, serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Secara mendasar, pemilihan tujuh kegiatan langkah percepatan berorientasi pada aspirasi serta tuntutan publik kepada kinerja kepolisian.

Langkah percepatan yang langsung terasa dampaknya terkait pengawasan perilaku arogan dan ketidakprofesionalan anggota kepolisian. Di tataran praktis, salah satu contoh konkret perubahan perilaku anggota kepolisian yang langsung tampak adalah tidak lagi menggunaan rotator beserta sirene di jalanan.

Lebih lanjut, dari seperempat publik yang mengaku pernah mengalami tindak arogansi anggota polisi atau menyaksikan perilaku tersebut, sebesar 42,1 persen di antaranya mengaku tahu bahwa anggota yang bersangkutan telah diberi sanksi hukum atau etik.

Langkah percepatan lainnya yang juga patut dicermati ialah pengawasan profesionalitas pelayanan Polri. Profesionalitas pelayanan ini menyentuh langsung aspek keseharian publik dalam mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan institusi Polri dan diterjemahkan ke dalam 20 aspek penilaian.

Hasil survei menunjukkan, responden yang pernah berurusan dengan Polisi, mengapresiasi sikap Polisi yang tidak membeda-bedakan agama saat pengurusan dokumen. Aspek ini mendapatkan skor sebesar 8,26 poin. Publik juga menghargai polisi yang menjaga kerahasiaan data pribadi selama proses berlangsung (skor 8,23 poin).

Selain itu, responden juga mengaku bahwa polisi tidak membeda-bedakan suku, ras, atau etnis saat proses pengurusan dokumen (skor masing-masing 8,10 poin). Di sini terlihat bahwa polisi telah menjalankan prinsip asas nondiskriminasi dalam pelayanan publik.

Meski begitu, ada sejumlah hal yang masih perlu menjadi perhatian Polri terkait dengan aspek pelayanan publik ini. Dari penilaian survei, aspek persepsi bahwa polisi dapat bekerja secara jujur dan dapat dipercaya mendapatkan skor 7,47 persen atau posisi tiga terbawah dalam skoring penilaian aspek pelayanan publik.

Kedua terbawah dengan poin 7,30, yakni masih lambannya polisi dalam memproses dan merespons laporan aduan masyarakat. Sementara aspek yang paling bawah adalah aspek kemudahan publik dalam mengakses informasi (pemantauan) terkait tahapan proses aduan yang sedang berjalan (7,28 poin). Dari ketiga penilaian terbawah ini, terlihat masih adanya mekanisme sistem tindak lanjut polisi terkait dengan aduan masyarakat yang harus menjadi salah satu prioritas langkah percepatan.

Survei Litbang Kompas pada Oktober 2025 turut memotret tanda pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia. Setelah mengalami penurunan tajam akibat kerusuhan besar pada Agustus 2025, citra dan kepuasan publik terhadap Polri kembali menunjukkan kenaikan. Fenomena ini menandai perubahan arah persepsi publik terhadap institusi yang selama dua dekade terakhir terus berjuang memperbaiki reputasinya.

Data survei Oktober 2025 menunjukkan, tingkat kepuasan terhadap kinerja Polri mencapai 65,1 persen. Kenaikan ini merupakan bentuk pemulihan (rebound) dari titik terendah pada September 2025 karena publik merasa kecewa oleh insiden kekerasan dan jatuhnya korban jiwa dalam unjuk rasa menentang kebijakan DPR.

Hasil survei juga mengonfirmasi adanya hubungan antara citra, kepuasan, dan kepercayaan publik. Ketiganya bergerak dalam satu pola yang menunjukkan bahwa persepsi terhadap kinerja berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan terhadap lembaga. Dengan kata lain, perbaikan cara kerja dan komunikasi Polri dalam dua bulan terakhir menjadi penentu utama dalam pemulihan kepercayaan masyarakat.

Analisis tren hasil survei sepanjang Januari hingga Oktober 2025 menunjukkan dinamika hubungan antara peristiwa aktual dan persepsi publik terhadap Polri. Pada Januari 2025, citra positif berada di angka 65,7 persen dan kepuasan kinerja di angka 63,9 persen.

Sejak awal tahun, serangkaian kasus kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian menciptakan tekanan besar terhadap citra institusi. Peristiwa yang turut menyeret institusi Polri pada awal tahun, antara lain kasus pagar laut di Tangerang dan kasus kematian Gamma, siswa SMKN 4 Semarang, yang diduga ditembak oknum polisi.

Dengan latar peristiwa tersebut, publik menilai citra positif Polri di angka 53,4 persen dan tingkat kepuasan sebesar 45 persen pada April 2025. Pada saat itu, publik masih memberikan sorotan terhadap kasus kekerasan aparat dan lambatnya penyelesaian pelanggaran disiplin anggota.

Kenaikan sempat terlihat pada Juli 2025 berbarengan dengan perbaikan pola komunikasi publik Polri dan beberapa inisiatif pelayanan digital. Citra positif Polri naik ke angka 58 persen dan tingkat kepuasan menjadi 46,3 persen. Kendati mengalami kenaikan, tetapi besaran angkanya belum terlalu signifikan dibandingkan April 2025.

Demonstrasi yang berujung kerusuhan pada akhir Agustus 2025 membuat penilaian publik terhadap Polri kembali turun ke titik terendah, menandai fase krisis paling serius dalam dua tahun terakhir. Insiden yang menewaskan beberapa orang, termasuk Affan Kurniawan, menjadi pemicu gelombang kritik keras terhadap Polri. Rangkaian peristiwa ini turut memberikan latar turunnya citra Polri ke angka 44,5 persen dan tingkat kepuasannya hanya 42,5 persen.

Desakan publik agar Kapolri mengambil langkah perbaikan menyeluruh pun muncul dari berbagai kalangan, termasuk tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi hak asasi manusia. Dalam waktu satu bulan setelah pembentukan Tim Reformasi internal, citra dan kepuasan publik menunjukkan sinyal peningkatan.

Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa kepercayaan publik terhadap Polri sangat sensitif terhadap sinyal perubahan yang terjadi akibat peristiwa aktual. Publik membaca langkah ini sebagai tanda bahwa lembaga kepolisian mau berubah dan mendengarkan kritik. Hasil survei ini sekaligus mengonfirmasi bahwa komunikasi kebijakan yang terbuka mampu mempercepat pemulihan legitimasi publik.

Tindak lanjut reformasi Polri

Peningkatan citra positif dan tingkat kepuasan publik menunjukkan pengelolaan komunikasi strategis pascakrisis di institusi Polri menuju ke arah yang positif di mata publik. Upaya Polri memperlihatkan keterbukaan terhadap evaluasi eksternal, penanganan cepat terhadap korban dan keluarga korban kerusuhan, serta transparansi informasi, pada akhirnya membantu memulihkan kepercayaan publik.

Dalam hal ini, pembentukan tim reformasi berfungsi sebagai jembatan antara keinginan publik dan kemampuan institusi untuk berbenah ke arah yang jauh lebih baik.

Dalam temuan survei yang sama, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri pada Oktober 2025 menunjukkan angka yang tergolong baik. Sebesar 76,2 persen publik menyatakan percaya dan sangat percaya terhadap Polri. Hal ini menjadi modal sosial yang besar bagi Polri untuk menjalankan agenda reformasi.

Meski demikian, efek pemulihan citra belum tentu identik dengan keberhasilan reformasi substansial. Publik memberi respons positif terhadap niat baik dan langkah awal Polri, tetapi kepercayaan yang diperoleh masih bersifat sementara. Apabila dalam waktu dekat tidak muncul hasil konkret, dukungan yang tampak dalam temuan survei, tentu dapat kembali menurun dengan cepat. Tantangan terbesar terletak pada langkah Polri selanjutnya dalam mempertahankan tren positif ini di tengah dinamika politik dan sosial yang cepat berubah.

Tantangan besar melakukan reformasi yang berkelanjutan juga dihadapi oleh Komisi Percepatan Reformasi Polri yang baru dibentuk oleh Presiden Prabowo. Reformasi yang berkelanjutan memerlukan kemauan politik, kepemimpinan moral, dan pengawasan publik yang kuat.

Ke depan, Tim Reformasi Internal Polri ataupun Komisi Percepatan Reformasi Polri harus mampu melampaui fungsi simboliknya dan menjadi motor utama transformasi kelembagaan. Publik menunggu bukti bahwa reformasi bukan hanya jargon atau kampanye citra, melainkan proses nyata mewujudkan semangat ”Polri untuk Masyarakat”. Hanya dengan itu, kepercayaan yang mulai pulih dapat tumbuh menjadi legitimasi yang kokoh bagi institusi penegak hukum terbesar di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)

Pos terkait