Jakarta – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai, tuduhan Adhie Massardi tentang adanya DNA pengkhianat di tubuh Polri tidak lahir dari analisis objektif, melainkan dari framing politik yang sengaja diproduksi.
Menurutnya, narasi ini bekerja dengan logika simplifikasi: mengambil satu peristiwa, yakni manuver Kapolri Bimantoro di masa Gus Dur, lalu menggeneralisasi seolah-olah seluruh institusi Polri mewarisi DNA pengkhianat.
“Menjadikan peristiwa itu sebagai dasar tudingan terhadap Polri secara keseluruhan sama saja dengan memanipulasi fakta sejarah demi membangun narasi delegitimasi,” kata Haidar Alwi, Jumat (19/9/2025) malam.
Ia menjelaskan bahwa Kapolri Bimantoro pada saat itu memang terlibat dalam konflik politik yang tajam dengan Presiden Gusdur. Namun perlu ditegaskan, perbedaan sikap seorang Kapolri dengan kepala negara bukanlah cerminan DNA lembaga, melainkan bagian dari transisi demokrasi yang masih rapuh.
“Waktu itu reformasi 1998 baru saja melahirkan pemisahan Polri dari TNI, sebuah langkah monumental untuk membentuk polisi sipil yang profesional. Dalam situasi demikian, hubungan antara Presiden dan aparat keamanan sangat rentan dipolitisasi,” jelas Haidar Alwi.
“Dalam dinamika politik saat itu, Polri hanyalah salah satu aktor di tengah pusaran tarik-menarik kepentingan besar yang melibatkan partai politik, elite parlemen, bahkan militer yang baru saja dipisahkan dengan Polri,” sambungnya.
Justru di balik tuduhan “DNA pengkhianat” di tubuh Polri ada upaya kelompok tertentu untuk menggiring opini publik, menambah delegitimasi Polri, dan menjadikan institusi vital negara ini sebagai kambing hitam.
Strategi tersebut bukanlah hal baru. Sejarah Indonesia penuh dengan contoh bagaimana aparat keamanan sering dijadikan objek delegitimasi demi agenda politik. Polri, yang sejak reformasi berdiri sebagai entitas sipil yang terpisah dari militer, adalah target empuk bagi mereka yang ingin mempertahankan status quo atau memperluas ruang pengaruh politik di ranah keamanan.
“Dengan menempelkan label “pengkhianat” pada Polri, kelompok-kelompok tertentu berusaha menurunkan kepercayaan masyarakat, menciptakan jarak antara masyarakat dengan institusi pengayomnya, dan pada akhirnya memanfaatkan ketidakpercayaan itu untuk kepentingan politik praktis,” ungkap Haidar Alwi.
Bahaya dari narasi semacam ini adalah hilangnya rasionalitas masyarakat dalam menilai kinerja Polri. Setiap keberhasilan dalam menjaga keamanan mudah diabaikan, sementara setiap kesalahan kecil akan diperbesar sebagai bukti adanya “DNA pengkhianat”.
“Publik didorong untuk membenci institusi Polri, bukan mengawasi secara sehat dan kritis. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak sendi-sendi demokrasi, sebab aparat keamanan yang dilemahkan legitimasi sosialnya akan kesulitan menjalankan fungsi konstitusional,” tutur Haidar Alwi.
Padahal, fakta di lapangan menunjukkan Polri berulang kali menjadi penopang stabilitas ketika bangsa ini berada di ujung krisis. Dari teror bom yang mengancam perdamaian, konflik komunal yang mengoyak persatuan, hingga tragedi politik terbaru pada Agustus 2025. Polri selalu menjadi garda depan yang memastikan Indonesia tetap berdiri.
“Tentu saja ada kekurangan dan kelemahannya, tapi itu adalah pekerjaan rumah untuk perbaikan, bukan dasar untuk melabeli mereka sebagai pengkhianat,” tutur Haidar Alwi.
Oleh karena itu, masyarakat perlu sadar bahwa narasi “DNA pengkhianat” di tubuh Polri bukanlah refleksi sejarah, melainkan instrumen politik. Ia bekerja seperti racun yang disuntikkan ke dalam memori kolektif bangsa untuk mengikis kepercayaan terhadap institusi negara.
“Yang diuntungkan dari narasi itu bukanlah rakyat, melainkan kelompok politik yang ingin meraih kendali lebih besar di atas arena keamanan. Oleh karena itu, melawan tuduhan ini bukan sekadar membela Polri, melainkan membela rasionalitas masyarakat, membela objektivitas sejarah, dan pada akhirnya membela kepentingan bangsa,” pungkas Haidar Alwi.