Jakarta — Peringatan HUT ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober 2025 mendapat sorotan tajam dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Alih-alih menjadi momen perayaan, koalisi menilai ulang tahun kali ini justru menjadi saat yang tepat untuk melakukan refleksi kritis atas arah perjalanan TNI pasca-reformasi 1998.
Dalam siaran persnya, Koalisi menegaskan bahwa praktik multifungsi TNI yang masih terus berlangsung, dari penempatan prajurit aktif di lembaga sipil hingga urusan keamanan dalam negeri, telah mengkhianati semangat reformasi. “Militer seharusnya fokus pada pertahanan negara, bukan mengurus dapur sipil,” tegas Koalisi.
Lebih mengkhawatirkan lagi, catatan sepanjang Januari–September 2025 memperlihatkan berulangnya kasus kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan prajurit TNI. Mulai dari penembakan warga sipil di Aceh dan Lampung, pembunuhan jurnalis di Banjarbaru, penculikan kepala cabang bank BRI di Jakarta, hingga kasus kematian Prada Lucky akibat penganiayaan senior di NTT. Semua kasus ini, menurut Koalisi, memperlihatkan pola kekerasan yang sudah struktural dan kultural.
Namun, alih-alih menghadirkan keadilan, kasus-kasus tersebut justru kandas di peradilan militer yang dinilai sarat impunitas. Vonis ringan, persidangan tertutup, hingga abainya prinsip keadilan gender membuat publik pesimistis terhadap tegaknya supremasi hukum. “Selama hakim, jaksa, dan terdakwa sama-sama berasal dari institusi militer, keadilan hanya ilusi,” ungkap perwakilan Koalisi.
Koalisi juga menyoroti kebijakan terbaru pemerintah yang dianggap mengembalikan TNI ke era dwifungsi, seperti penambahan enam Kodam baru, pengangkatan perwira aktif di jabatan sipil, hingga perpanjangan usia pensiun perwira bintang. “Semua ini adalah langkah mundur yang berbahaya bagi demokrasi,” kritik mereka.
Ancaman lain yang disorot adalah RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS), yang memberi kewenangan penyidikan kepada TNI. Koalisi menilai, pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 karena membuka pintu militerisasi ruang siber dan melemahkan supremasi sipil.
Koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk segera:
1. Menghentikan total praktik multifungsi TNI.
2. Merevisi UU Peradilan Militer agar prajurit yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum.
3. Mengembalikan TNI pada mandat konstitusionalnya sebagai alat pertahanan negara.
“Tidak akan ada demokrasi tanpa supremasi sipil. Tidak akan ada keadilan tanpa akuntabilitas militer,” tegas Koalisi.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, HRWG, WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, ICW, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, ALDP, Public Virtue, ICJR, AJI Jakarta, PPMAN, BEM SI, De Jure, Raksha Initiative, LBH APIK, KPI. Beberapa tokoh yang menyuarakan hal itu diantaranya Ardi Manto Adiputra (Direktur Imparsial), M Isnur (YLBHI), Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), Julius Ibrani (PBHI), Dimas Bagus Arya (KontraS), Mike Tangka (KPI), Daniel Awigra (HRWG), Bhatara Ibnu Reza (DeJure), Wahyudi Djafar (Raksha Initiatives) dan Al Araf (Centra Initiative).