Jakarta – Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) ke-65 menjadi momentum penting bagi gerakan tani Indonesia. Untuk pertama kalinya di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar aksi massa di depan Istana Kepresidenan, Jakarta.
Ribuan petani dari berbagai daerah hadir dengan satu suara: mendesak pemerintah segera melaksanakan reforma agraria sejati dan menegakkan kedaulatan pangan nasional.
Aksi berlangsung tertib dan damai. Para petani membawa semangat perjuangan serta menyampaikan enam tuntutan pokok sebagai agenda mendesak demi kesejahteraan petani dan rakyat Indonesia. Ketua Umum SPI, Henry Saragih, menegaskan bahwa HTN adalah pengingat penting akan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yang hingga kini belum sepenuhnya dijalankan.
“Hari Tani Nasional adalah pengingat sejarah bangsa bahwa reforma agraria adalah jalan untuk mewujudkan keadilan sosial. Namun faktanya, hingga kini pelaksanaannya belum menjawab kebutuhan petani. Pemerintah harus bertindak nyata, bukan sekadar mengulang janji,” tegas Henry.
Dalam aksinya, SPI menyampaikan enam poin utama:
1. Menyelesaikan konflik agraria yang dihadapi anggota SPI maupun petani Indonesia secara menyeluruh, serta menghentikan kriminalisasi terhadap petani.
2. Mengalokasikan tanah perkebunan dan kehutanan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), termasuk hasil Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
3. Merevisi Perpres Reforma Agraria No. 62/2023 agar sejalan dengan agenda kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.
4. Merevisi UU sektoral seperti UU Pangan, UU Kehutanan, UU Koperasi, serta mendorong pembentukan UU Masyarakat Adat.
5. Mencabut UU Cipta Kerja yang dinilai memperlebar ketimpangan agraria, mengancam kedaulatan pangan, dan menekan kesejahteraan rakyat.
6. Membentuk Dewan Nasional Reforma Agraria dan Dewan Nasional Kesejahteraan Petani untuk memastikan keberlanjutan implementasi kebijakan.
Selain itu, SPI juga menekankan pentingnya regenerasi petani dengan mendorong keterlibatan generasi muda dalam sektor pertanian, serta perlindungan harga dan dukungan penuh pada produksi pangan lokal guna menghentikan ketergantungan impor.
Aksi damai ini direspons positif oleh pemerintah. Perwakilan Istana Negara berkenan menemui langsung Henry Saragih sebagai Ketua Umum SPI. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah menyatakan seluruh tuntutan akan diteruskan kepada Presiden RI dan kementerian terkait.
Henry menyambut baik sikap terbuka pemerintah, namun menekankan pentingnya aksi nyata.
“Kami mengapresiasi pihak Istana yang bersedia menemui dan mendengar langsung aspirasi petani. Tetapi yang lebih penting adalah realisasi di lapangan. Reforma agraria sejati harus segera diwujudkan. Petani tidak bisa lagi menunggu dengan janji-janji,” ujarnya.
Henry juga mendesak agar Presiden Prabowo Subianto berkenan bertemu langsung dengan petani, sebagai bentuk komitmen politik pemerintah terhadap agenda reforma agraria sejati.
Fakta Ketimpangan dan Urgensi Reforma Agraria
Henry Saragih menegaskan bahwa data resmi menunjukkan urgensi reforma agraria tidak bisa ditunda. Badan Pertanahan Nasional mencatat rasio gini penguasaan tanah berada pada angka 0,58, menandakan ketimpangan serius. Jumlah petani gurem terus meningkat, sementara anggota SPI sendiri terlibat dalam konflik agraria mencakup 118.792 kepala keluargadengan luas sengketa mencapai 537.062 hektare, melibatkan perusahaan perkebunan, kehutanan, pengusaha besar, hingga institusi negara.
Menurut Henry, reforma agraria sejati bukan hanya agenda keadilan sosial, melainkan juga strategi ekonomi makro. Distribusi tanah yang adil akan memperkuat basis produksi pangan nasional, memperluas penerimaan negara dari sektor desa, menekan ketergantungan impor, dan memperkuat cadangan devisa. Dengan demikian, reforma agraria juga menjadi penyangga stabilitas fiskal dan moneter negara, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Gerakan Tani Serentak
Aksi massa di Jakarta diikuti petani SPI dari berbagai wilayah sekitar ibukota, mulai dari Serang, Pandeglang, Lebak, Bogor, Purwakarta, hingga Indramayu. Sementara itu, petani SPI di berbagai daerah juga memperingati HTN melalui aksi serentak di kantor pemerintah daerah, diskusi publik, hingga pembagian hasil panen kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan reforma agraria tidak hanya bergema di pusat kekuasaan, tetapi juga hidup di akar rumput.
Henry Saragih menutup pernyataannya dengan menegaskan arti penting HTN 2025 yang berlangsung di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo.
“Reforma agraria sejati sudah tercantum dalam Asta Cita, tetapi hingga kini belum juga dijalankan. Inilah saatnya Presiden Prabowo menunjukkan keberanian politiknya. Janji reforma agraria harus diwujudkan, bukan hanya diucapkan. Jika reforma agraria dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka kedaulatan pangan dan keadilan sosial akan benar-benar menjadi nyata,” pungkasnya.