Proyek delegitimasi Polri sedang menuju puncak kesuksesannya seiring dengan Presiden Prabowo membentuk Komite Reformasi Polri setelah menampung tuntutan dari sejumlah pihak.
Apa yang sekilas terlihat sebagai kebijakan normal untuk meningkatkan profesionalisme institusi, sesungguhnya adalah hasil dari tekanan narasi panjang yang sudah disusun dan digelindingkan secara sistematis.
Reformasi Polri yang saat ini bergulir bukanlah buah dari evaluasi objektif maupun aspirasi murni memperbaiki kelembagaan, melainkan kristalisasi dari upaya delegitimasi yang selama ini secara konsisten diarahkan pada Polri.
Pola terakhir yang terlihat begitu jelas, dimulai dari tragedi Agustus 2025 yang memakan korban jiwa seorang pengemudi ojek online. Peristiwa itu segera dieksploitasi untuk memberi label bahwa aparat bersikap represif dan tidak manusiawi.
Narasi tersebut lalu dipertajam dengan desakan mengganti Kapolri, dengan alasan kegagalan menjaga keamanan, masa jabatan yang dianggap terlalu panjang, hingga stigma bahwa Kapolri merupakan bagian dari lingkaran “Geng Solo” yang harus disingkirkan dari pemerintahan Prabowo.
Tidak berhenti di situ, delegitimasi semakin digencarkan dengan tuduhan lebih jauh: bahwa Polri menyimpan “DNA pengkhianatan” yang diwariskan sejak era Gus Dur, seolah institusi ini secara genetik tidak bisa dipercaya dan selalu berpotensi menusuk kepemimpinan nasional dari belakang.
Tuduhan semacam itu bukan hanya tidak rasional, tetapi juga dirancang untuk menghancurkan kepercayaan publik kepada Polri dalam jangka panjang.
Ketika isu-isu ini disusun, dirangkai, dan dilemparkan ke ruang publik secara beruntun, hasil akhirnya terlihat hari ini: reformasi Polri tampil bukan sebagai kebutuhan objektif, tetapi sebagai jawaban politik atas delegitimasi yang sudah diproduksi sekian lama namun gagal berkali-kali.
Pada tahun 2011 misalnya, wacana reformasi Polri mengemuka setelah kasus Mesuji Lampung, Sumsel dan Bima NTB. Lalu, timbul lagi tahun 2015 seiring isu dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kemudian tahun 2022 kembali disuarakan setelah kasus Ferdy Sambo. Berikutnya tahun 2024 pasca polemik penguntitan Jampidsus Kejagung oleh oknum Densus 88 serta tuduhan partai tertentu yang mengkambinghitamkan Polri atas kekalahan kandidatnya dalam Pemilu.
Jika dicermati, polanya berulang dan mudah ditebak. Satu kasus individu dijadikan pintu masuk untuk menggoreng isu kelembagaan. Satu pelanggaran segera dibesar-besarkan menjadi kegagalan sistem. Seolah-olah Polri secara keseluruhan gagal. Seolah-olah seluruh reformasi yang telah dilakukan sejak 1999 tidak pernah ada.
Presiden Prabowo pada akhirnya terjebak dalam ruang yang dibuat oleh narasi tersebut, seolah-olah pembenahan Polri menjadi keniscayaan demi merespons kegelisahan publik, padahal kegelisahan itu sendiri banyak yang bersumber dari rekayasa isu.
Jika proyek delegitimasi ini dibiarkan terus berjalan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya wibawa Polri sebagai garda terdepan keamanan dalam negeri, melainkan juga stabilitas politik dan ketahanan negara.
Apalagi, yang disebut reformasi Polri nantinya berpotensi menempatkan kepolisian di bawah kementerian tertentu. Sejarah sudah membuktikan, Polri yang dikungkung di bawah kementerian adalah Polri yang kehilangan independensinya. Yang tidak lagi berdiri tegak sebagai pengayom masyarakat, melainkan hanya menjadi kepanjangan tangan politik.
Sebuah institusi yang terus menerus digerogoti wibawanya akan kehilangan legitimasi, dan kehilangan legitimasi berarti kehilangan kekuatan moral untuk menjalankan fungsi keamanan.
Dalam konteks inilah, reformasi Polri saat ini lebih tepat dibaca sebagai buah dari strategi politik yang matang untuk menekan, melemahkan, dan pada akhirnya mengendalikan Polri, ketimbang sebagai niat tulus memperbaiki institusi.
Delegitimasi yang hampir berhasil itu harus disadari sejak awal, agar bangsa ini tidak kehilangan salah satu tiangnya sendiri hanya karena permainan narasi yang dirancang untuk kepentingan tertentu.
Dalam kerangka besar kekuasaan politik, delegitimasi terhadap Polri adalah strategi yang efektif. Sebab melemahkan institusi keamanan berarti membuka ruang instabilitas, dan instabilitas adalah kondisi ideal bagi mereka yang ingin merebut posisi tawar.
Di sinilah letak bahaya dari proyek delegitimasi berkedok reformasi. Ia bukan sekadar wacana perbaikan normatif institusi, tetapi manuver politik untuk mengendalikan arah kekuasaan negara.
Polri tentu bukan lembaga tanpa cacat. Kritik selalu dibutuhkan agar ia tetap berada di jalur profesionalisme. Namun publik juga harus jeli membaca kapan kritik dan tuntutan reformasi benar-benar lahir dari keinginan perbaikan, dan kapan ia hanya menjadi instrumen politik yang disamarkan dengan moralitas.
Reformasi yang sejatinya dibutuhkan Polri adalah reformasi yang lahir dari evaluasi internal, pengawas, dan dorongan publik yang murni, bukan kristalisasi dari proyek delegitimasi yang membungkus isu-isu untuk kepentingan segelintir elite.
Apabila narasi delegitimasi ini dibiarkan tanpa tandingan, maka yang akan lahir bukanlah Polri yang lebih kuat, melainkan Polri yang dilemahkan oleh intrik politik.
Pada akhirnya, yang dirugikan bukan sekadar institusi kepolisian, melainkan juga bangsa secara keseluruhan yang kehilangan pilar penting dalam menjaga stabilitas.
Reformasi yang sejati hanya akan lahir dari kesadaran dan kesadaran kolektif, bukan dari proyek yang bertujuan merobohkan kepentingan Polri pada saat itu.
Aktor yang paling diuntungkan dari proyek delegitimasi Polri melalui isu reformasi adalah mereka yang sedang berusaha merebut, mempertahankan, atau memperluas ruang politiknya.
Pertama, kelompok oposisi terhadap pemerintahan yang berkuasa. Dengan mereduksi citra Polri, mereka berharap dapat menampilkan negara yang seolah-olah gagal mengelola aparat keamanan. Narasi ini tidak hanya menyasar Kapolri atau pejabat tertentu, tetapi juga langsung menjepret legitimasi Presiden sebagai kepala pemerintahan. Dalam logika politik, jika keamanan tidak terkendali, maka kepemimpinan pun dipandang rapuh.
Kedua, aktor-aktor politik dalam lingkaran kekuasaan sendiri yang ingin menggeser figur tertentu. Isu reformasi Polri seringkali dijadikan justifikasi untuk mengganti Kapolri dengan orang yang lebih sejalan dengan kepentingan mereka. Pola ini dapat dilihat dari tuntutan agar Kapolri diganti setelah kejadian yang melibatkan aparat, padahal kejadian serupa di masa lalu tidak selalu memicu tuntutan ekstrem. Artinya, isu hanya dipilih dan dipoles ketika ada momentum politik yang menguntungkan.
Ketiga, kelompok kepentingan non-politik formal seperti aktivis, LSM, dan akademisi tertentu. Mereka mendapat keuntungan berupa visibilitas publik, reputasi, dan posisi tawar dalam peraturan politik nasional. Dengan mengangkat narasi reformasi, mereka menampilkan diri sebagai representasi suara rakyat, padahal sebenarnya menjadi bagian dari arus besar yang diarahkan oleh kekuatan politik tertentu.
Keempat, pihak eksternal yang berkepentingan terhadap stabilitas dalam negeri Indonesia. Melemahkan Polri berarti membuka ruang penetrasi isu-isu transnasional seperti radikalisme, terorisme, narkoba, intervensi ekonomi, bahkan tekanan geopolitik. Dalam perspektif ini, delegitimasi Polri melalui isu reformasi bukan sekadar urusan domestik, melainkan juga bagian dari pertarungan kepentingan global.
Dengan kata lain, yang diuntungkan adalah aktor-aktor yang membutuhkan instabilitas sebagai jalan pintas untuk mengamankan kepentingan.
Polri menjadi sasaran karena posisi yang penting: ketika kepercayaan masyarakat runtuh terhadap polisi, maka negara kehilangan salah satu fondasi utamanya. Reformasi yang sejati seharusnya memperkuat Polri, bukan justru memperlemah melalui proyek delegitimasi yang sistematis.
Jakarta, 19 September 2025
R. Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)